Konon, uang seribu Rupiah dan seratus ribu rupiah memiliki asal-usul yang sama tapi mengalami nasib yang berbeda. Keduanya sama-sama dicetak di PERURI ,Pertama kali ke luar dari PERURI, uang seribu dan seratus ribu sama-sama bagus, berkilau, bersih, harum dan menarik..
Tapi setahun kemudian, seribi dan seratus ribu bertemu kembali dilaci pedagang dipasar Martapura
Uang seratus ribu bilang ke uang seribu :
“Ya, ampiiiyuunnnn. ………..dari mana aja kamu, kawan? Baru setahun kita berpisah, koq kamu udah lusuh banget? Kumal, kotor , lecet dan…… beugh bau lagi !
Uang seribu menatap uang seratus ribu yang masih keren dengan perasaan nelangsa. Sambil mengenang perjalanannya,
uang seribu berkata :
“Ya, beginilah nasibku, kawan. Sejak kita ke luar dari PERURI, hanya tiga hari saya berada di dompet yang bersih dan bagus. Hari berikutnya saya sudah pindah ke dompet tukang sayur . Dari dompet tukang sayur, saya beralih ke kantong plastik tukang ayam. Plastiknya basah, penuh dengan darah dan kotoran ayam. Besoknya lagi, aku dilempar ke plastik seorang pengamen, dari pengamen sebentar aku nyaman di laci tukang warteg. Dari laci tukang warteg saya berpindah ke kantong tukang nasi uduk, dari sana saya hijrah ke ‘seluang’ Inang-inang. Begitulah perjalananku dari hari ke hari. Itu makanya saya bau, kumal, lusuh, karena sering dilipat-lipat, digulung-gulung, diremas-remas. …….”
Uang seratus ribu mendengarkan dengan prihatin.:
“Wah, sedih banget perjalananmu, kawan! Berbeda banget dengan pengalamanku. Kalau aku ya, sejak kita keluar dari PERURI itu, aku disimpan di dompet kulit yang bagus dan harum. Setelah itu aku pindah ke dompet seorang wanita cantik. Hmmms… dompetnya harum sekali. Setelah dari sana , aku lalu berpindah-pindah, kadang-kadang aku ada di hotel berbintang 5, masuk ke restoran mewah, ke showroom mobil mewah, di tempat arisan Ibu-ibu pejabat, dan di tas selebritis. Pokoknya aku selalu berada di tempat yang bagus. Jarang deh aku di tempat yang kamu ceritakan itu. Dan…… asal kamu tau saya jarang loh ketemu sama teman-temanmu.”
“Ya, beginilah nasibku, kawan. Sejak kita ke luar dari PERURI, hanya tiga hari saya berada di dompet yang bersih dan bagus. Hari berikutnya saya sudah pindah ke dompet tukang sayur . Dari dompet tukang sayur, saya beralih ke kantong plastik tukang ayam. Plastiknya basah, penuh dengan darah dan kotoran ayam. Besoknya lagi, aku dilempar ke plastik seorang pengamen, dari pengamen sebentar aku nyaman di laci tukang warteg. Dari laci tukang warteg saya berpindah ke kantong tukang nasi uduk, dari sana saya hijrah ke ‘seluang’ Inang-inang. Begitulah perjalananku dari hari ke hari. Itu makanya saya bau, kumal, lusuh, karena sering dilipat-lipat, digulung-gulung, diremas-remas. …….”
Uang seratus ribu mendengarkan dengan prihatin.:
“Wah, sedih banget perjalananmu, kawan! Berbeda banget dengan pengalamanku. Kalau aku ya, sejak kita keluar dari PERURI itu, aku disimpan di dompet kulit yang bagus dan harum. Setelah itu aku pindah ke dompet seorang wanita cantik. Hmmms… dompetnya harum sekali. Setelah dari sana , aku lalu berpindah-pindah, kadang-kadang aku ada di hotel berbintang 5, masuk ke restoran mewah, ke showroom mobil mewah, di tempat arisan Ibu-ibu pejabat, dan di tas selebritis. Pokoknya aku selalu berada di tempat yang bagus. Jarang deh aku di tempat yang kamu ceritakan itu. Dan…… asal kamu tau saya jarang loh ketemu sama teman-temanmu.”
Uang seribu terdiam sejenak. Dia menarik nafas lega, katanya : “Ya. Nasib kita memang berbeda. Kamu selalu berada di tempat yang nyaman.
Tapi .... ada satu hal yang selalu membuat saya senang dan bangga daripada kamu!”
“Apa itu?” uang seratus ribu penasaran.
“Aku sering bertemu teman-temanku di kotak-kotak amal di mesjid atau di tempat-tempat ibadah lain. Hampir setiap minggu aku mampir ditempat-tempat itu. Jarang banget tuh aku melihat kamu disana…..”
“Apa itu?” uang seratus ribu penasaran.
“Aku sering bertemu teman-temanku di kotak-kotak amal di mesjid atau di tempat-tempat ibadah lain. Hampir setiap minggu aku mampir ditempat-tempat itu. Jarang banget tuh aku melihat kamu disana…..”
😢
-----------------------------------------------------------------------------------------
*Artikel ini sebenarnya salah satu artikel andalan saya karena murni tulisan saya yang pernah di ikutkan dalam lomba Blogger di hari ulang tahun harian Banjarmasih Post 2008. walau hanya masuk 10 besar tetapi di muat di harian tersebut. sayangnya tak ada bukti, ini karena Banjarmasin Post tahun itu belum cetak digital.
Komentar
Posting Komentar